Langsung ke konten utama

Analisis Framing dan Paradigma Konstruksionis


Analisis Framing*
A. Pengantar: Kenapa Framing?
Sebagai pembaca koran, pendengar radio, pemirsa TV atau (saat ini) sebagai aktivis media sosial, kita seringkali kebingungan dengan peristiwa-peristiwa yang diberitakan oleh media. Ketika suatu peristiwa diliput oleh stasiun TV tertentu, namun pada saat yang sama tidak diliput oleh  yang lain, atau stasiun TV terbebut meliput suatu peristiwa dan melupakan peristiwa yang lain. Atau bisa juga, dua media yang berbeda yang berbeda meliput suatu peristiwa, namun hasilnya berbeda.
Kemudian muncul banyak pertanyaan. Kenapa peristiwa ini diliput, sementara peristiwa yang itu tidak?  Kenapa hanya sisi ini saja yang diliput? Kenapa tidak aspek ini yang ditonjolkan? Kenapa ini hilang dari pemberitaan? Kenapa bagian ini ditekankan oleh media, sementara yang lain dikaburkan? Semua pertanyaan tersebut dapat dijawab menggunakan konsep ‘framing’. Dalam hal ini, media bukanlah saluran yang bebas. Ia mengubah realitas melalui sebuah proses yang disebut dengan ‘konstruksi’.
Analisis framing digunakan untuk mengetahui cara dan teknik apa yang digunakan media untuk mengkonstruksi realitas. Analisis framing dapat digambarkan untuk mengetahui realitas (peristiwa, aktor, kelompok, narasumber, dll) yang dibingkai oleh media. ‘Berita adalah jendela dunia’ –sebagaimana yang dikatakan oleh Tuchman-. Tetapi, apa yang kita lihat tergantung jendela yang digunakan, baik jendela itu kecil/besar/kabur/kusam/posisi tinggi/rendah atau terhalang oleh suatu benda.  Dalam berita, jendela itu disebut sebagai ‘frame’.
Sebuah penelitian yang memotret media Indonesia (Republika, Suara Karya, dan Kompas) tentang konflik Palestina-Israel (1993-1996) memberikan ‘rasa’ yang berbeda. Anggapan pertama (kita) akan menunjukkan ketiga media tersebut berpihak kepada Palestina. Ternyata, Republika dan Suara Karya memihak kepada Palestina secara konsisten. Tetapi, Kompas memberikan tanggapan yang negatif untuk Palestina dan positif untuk Israel. Yang menjadi pertanyaan dalam framing adalah  “Bagaimana media mengkonstruksi realita seperti itu? Bagaimana bingkai yang dikembangkan oleh media?”
Republika membingkai kemerdekaan Palestina sebagai solusi terbaik untuk mengatasi konflik Timur-Tengah, yang di sisi lain merupakan kebiadaban Israel. Adapun dalam bingkai Kompas, solusi terbaik adalah dengan jalan damai tanpa kekerasan/peperangan yang tak kunjung henti dan akan bertambah parah. Intinya dalam bingkai Republika, Palestina selalu benar dan Israel tidak benar. Tetapi iniasiatif damai yang ada di Kompas merupakan kesepakatan antara Palestina-Israel selama 1994-1997, namun pada saat itu terjadi intifadah. Dalam Republika, intifadah dibenarkan sebagai bentuk melawan konspirasi Barat. Sedangkan dalam Kompas, intifadah disesalkan karena bertentangan dengan prinsip damai. Begitulah, pada dasarnya framing merupakan metode untuk melihat cara becerita (story telling) media atas peristiwa. Adapun analisis framing berbeda dengan analisis kuantitas. Analisis kuantitas menekankan kepada isi/konten dari suatu pesan/teks informasi, sedangkan analisis framing menekankan pembentukan pesan dari teks.

B. Teks Berita: Pandangan Konstruksionis
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita dan dihasilkannya. Peter L. Berger bersama Thomas Luckman menulis tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis tersebut mengenai manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Seorang manusia baru akan menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, yang disebut momen: eksternalisasi, objektivasi dan internalisai.
Pertama, eksternalisasi merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternaliasi manusia tersebut. Ketiga, internalisasi yang merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Bagi Berger, realitas bukanlah dibentuk secara ilmiah, tetapi ia berwajah ganda/plural.
Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari interaksi dan dialektika tersebut.


C. Fakta dan Berita dilihat dari Paradigma Konstruksionis 
  1. Fakta/Peristiwa adalah hasil konstruksi.
    Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks.
     
  2. Media adalah agen konstruksi.Media bukanlah saluran bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
  3. Berita  bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita terbentuk merupakan konstruksi atas realitas.
  4. Berita bersifat subjektif/Konstruksi atas realitas.
    Berita bersifat subjektif; opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
  5. Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas.
    Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
  6. Etika, Pilihan Moral dan Keterpihakan Wartawan adalah bagian yang Integral dalam Produksi Berita.
    Berita ditulis hanyalah untuk fungsi penjelas (eksplanasi) dalam menjelaskan fakta atau realitas. Nilai, etika atau keterpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa.
  7. Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian Integral dalam Penelitian. Pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai.
    Nilai, etika, dan pilihan moral bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian.
     
  8. Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita.
    Berita yang diterima oleh khalayak, akan bisa memiliki penafsiran sendiri yang berbeda dari pembuat berita.

    _____________________________________________________________________

    Daftar Pustaka
    Eriyanto. Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS. 2015.

    *Tulisan ini dibuat dalam bentuk resume terhadap BAB I dan II dari buku Analisis Framing pada Mata Kuliah 'Hadis dan Media'.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

  Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘ Revo 110cc ’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kala u motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman . “Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.   Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok. Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok. Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi ol

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

  Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari