Langsung ke konten utama

Antara Teks dan Pengamalan dalam Jama'ah Tabligh


[Masyaikh Jama'ah Tabligh di India]

Maulana Muhammad Ilyas al-Kandahlawi -sebagai pendiri- tidak secara spesifik menyebutkan bahwa  gerakan yang ia bangun disebut sebagai Jamā’ah Tablīgh (JT). Akan tetapi, pada akhirnya orang-orang menyebut gerakan ini sebagai Jamā’ah Tablīgh karena mereka bergerak menyampaikan (tablīgh) hal dan ihwal tentang iman dan amal shaleh.
Gerakan ini ditopang dengan kitab-kitab karya ulama hadis dari gerakan ini, yaitu Maulana Muhammad Zakariyya dengan judul Faḍāil al-A’māl. Kitab ini berlandaskan kepada syariat al-Qur’an, terutama hadis, sebagai penunjang praktik keagamaan serta membentuk pengorganisasian dan pengalaman gerakan ini. Mereka menghayati teks tersebut untuk diamalkan sedemikian rupa. Selain itu, JT juga membangun kerangka teoritis untuk mengkritik budaya otoritatif. Dari kritikan tersebut, muncullah istilah nisab, dan sebagainya untuk menegaskan amal ibadah, salat, membaca al-Qur’an, zikir puasa, haji, sedekah serta amalan lainnya.
Selain kitab Faḍāil al-A’māl, terdapat juga kitab Ḥikāyah al-Ṣaḥabah yang memaparkan masa lalu sebagai upaya mengkritik perilaku masa kini yang menyimpang. Pesan-pesan yang disampaikan memuat didikan kaum sufi hingga mencintai nabi. Setiap kisah membuat tajam perbedaan masa kini dan masa lalu. Kisah-kisah yang ditujukan untuk segala orang, berlaku untuk (mengkritik) setiap zaman, terutama masa sekarang. Secara tidak langsung, JT membawa pemikiran anggotanya melakukan amal saleh sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat.
Dalam pendidikan keluarga, mereka menggunakan kisah-kisah sahabat -yang terhormat dengan sumbernya- kepada anak-anak, bukan cerita-cerita rekaan yang entah-berantah isinya. Kisah-kisah di dalamnya membawa emosional, dibuat dengan sedemikian mungkin dan tampak nyata merasuk ke dalam kalbu. Kenapa harus kisah sahabat? Tentunya sahabat adalah orang yang mulia. Hal ini dikarenakan juga manusia hidup di dunia, terkadang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memikirkan rencana agar sepanjang hidup dapat memanfaatkan kekayaan, sehingga kehilangan tujuan hidup di dunia. Berikut salah satu kutipan tentang sahabat:
Manusia-manusia ini (para sahabat Nabi) menghadapi hambatan dan gangguan semacam itu. Dewasa ini kita menyebut-nyebut nama mereka dan mengatakan bahwa kita meneladani mereka, sekaligus berpikir bahwa kita menyaksikan mimpi-mimpi kemajuan (taraqqiyan) seperti mimpi-mimpinya para Sahabat yang mulia dalam urusan tentang kemajuan ruhiah. Namun apabila untuk sesaat saja kita mau menaruh sedikit perhatian, maka kita terpaksa beranggapan bahwa manusia-manusia agung tersebut melakukan pengorbanan berat semacam itu sedangkan kita, apakah yang telah kita perbuat demi agama (din), demi Islam, demi manhaj? Kesuksesan selalu berbanding lurus dengan usaha keras dan perjuangan. Kita adalah manusia yang menginginkan kemewahan dan kenyamanan, dan kita menginginkan kerjasama dengan orang-orang kafir demi mengejar benda-benda duniawi. Kemajuan Islam bergantung pada kita; jadi bagaimana hal ini bisa terwujud? [Seperti bunyi pepatah Persia] “Aku takut, Wahai pengelana, bahwa engkau tidak akan sampai Ka’bah; jalan yang engkau susuri mengarah ke Turkestan.”
(edisi Malik, hlm. 23-24; edisi Faizi, hlm. 36)
Kitab-kitab yang dijadikan landasan bagi JT menekankan aspek-aspek ibadah dan amaliah yang dianjurkan. Mereka menghindari untuk mengkritik secara langsung adat/kebiasaan buruk. Karena secara otomatis, kebiasaan buruk tersebut akan hilang dengan sendirinya jika yang (hanya) ditampilkan yang baik-baik saja. Dari sini, dapat dilihat bahwa JT secara tidak langsung menghindari ikhtilaf dan hal-hal yang berbau perdebatan. Hal ini dikarenakan juga gerakan ini menyebar luas hampir ke seluruh dunia dan diharapkan tidak menimbulkan gesekan/pengaruh yang berdampak bagi gerakan ini. Mereka hanya menyampai sesuatu (agama) yang disepakai untuk diamalkan.
Teks yang terdapat dalam hadis terdapat jarak, karena sangat jauh dari manusia masa kini. Untuk menghidupkan cita-cita hadis, mereka mencoba untuk menerapkan sifat-sifat kenabian, mulai dari tablīgh secara ber-jamā’ah untuk menyampaikan hidāyah kepada qaumnya, al-amr bi al-ma’rūf wa al-nahy ‘an munkar. Mereka mencoba mengamalkan hal tersebut , bahkan (hingga) merasakan cacian-makian, lemparan sebagaimana yang dirasakan oleh Nabi saw ketika di Thaif.
Gerakan ini yang benar-benar berjuang dengan sendirinya tanpa ada bantuan pemerintah, berhubung mereka juga ‘diam’ dan tidak mengomentari masalah politik. Buku-buku tersebut harus sampai ke masyarakat dan diamalkan. Mereka berupaya menghindar dari media sebagai sarana dakwah, karena mereka berdakwah dari pintu ke pintu, bukan lewat perantara.
Kenapa mereka menarik diri dari panggung publik dan politiik. Karena menurut mereka para pemimpin nasional memiliki objek kecintaan dan pengabdian yang salah, hanya berlebih-lebih dengan slogan dan meneriakkan solusi tanpa memberikan bantuan terhadap penyerbarluasan al-Quran (agama). JT juga mengkritik sesuatu yang berorientasi kepada duniawi. Di sinilah terlihat sangat jelas bahwa ajaran JT mendorong kepasrahan yang radikal kepada Tuhan. 
Pada intinya, JT berusaha untuk membangun suasana masa lalu. Kitab-kitab itu selalu dibaca berulangulang kali agar memberikan efek. Karena jika hanya dibaca sekali, kurang memberikan efek. Kitab tersebut dibaca di rumah, di masjid, dan juga ketika khuruj. Di rumah, kitab itu dibacakan dihadapan semua anggota keluarga. Di masjid, dibacakan di hadapan jamaah masjid ketika selesai salat. Ketika khuruj dibacakan pada waktu-waktu tertentu.
__________________
Sumber Rujukan:
Barbara D. Metcalf, "Living Hadīth in the Tablīghi Jamā'at", The Journal of Asian Studies, Vol 52, No. 3 (August 1993), hlm. 584-608.
Diterjemahkan oleh:
Saifuddin Zuhri Qudsy, "Living Hadis dalam Jama'ah Tabligh".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai den...

Sufisme, Komunisme dan Modernisme: Gerakan Sosial Keagamaan di Minangkabau abad ke-20

  Pada awalnya, tulisan ini terinspirasi dari karya Ken Young ( 1994 ) dan Fikrul Hanif Sufyan ( 2017 & 2021 ). Di dalam karyanya, Ken Young berbicara mengenai peristiwa gerakan anti pajak di Sumatra Barat yang terjadi sebelum ideologi komunis masuk ke wilayah tersebut. Sementara karya Fikrul Hanif Sufyan bercerita mengenai sosok Haji Datuak Batuah dengan ideologi “ kuminih ”-nya serta pertarungan wacana keagamaan antara gerakan modernis dan komunis. Saya mencoba menjembatani kronologi tersebut dalam nuansa gerakan sosial Islam, berangkat dari perspektif bacaan atas karya Quintan Wiktorowicz,  eds.  ( 2003 ). Saya berusaha menjahit data-data dari beberapa karya tersebut dengan menggunakan teori “ Tindakan Sosial (Max Weber)”. Hal ini dikarenakan karya Ken Young berbicara mengenai peristiwa yang terjadi sebelum ideologi komunis masuk ke Minang, sementara karya Fikrul Hanif Sufyan berbicara mengenai beberapa peristiwa pasca ideologi komunis masuk ke tersebut secara ...

Kenangan Bersama Orang Tua Kami: Haji Syaukani Sani (1960-2024)

  Foto: Diniyah Limo Jurai Waktu itu, ketika kami duduk di kelas 1 B (kelas 1 Mts), beliau mengampu mata pelajaran fikih dengan memperkenalkan kitab “ Al-Ghāyah wa Al-Taqrīb ”. Kitab tipis dengan “ ilmu salangik ” di dalamnya ini beliau terangkan kepada kami kata per kata. Tak ada satu pun mufradat yang terlewatkan. Beliau menjelaskan dengan sangat jelas, dengan bahasa Indonesia yang (terkadang) diselingi dengan bahasa Minang dengan dialek ‘Sungai Pua/Cimbuak’. Angkatan kami, yang masuk pada tahun ajaran 2009/2010 merupakan angkatan yang tidak cukup beruntung diajar oleh beliau. Meskipun beliau sudah masuk ke kelas kami di tahun pertama menginjakkan kaki di Diniyah Limo Jurai, ternyata satu tahun itu saja kami diajarkan oleh beliau di bangku formal. Setelah 1 tahun ajaran (2009/2010) itu berlalu, beliau pun berlalu meninggalkan Diniyah Limo Jurai dengan mencari kesibukan yang lain. Saya tidak mengetahui pasti awal mula beliau menjabat sebagai Kepala Madrasah (dibaca: mudir, seb...