Pada awalnya, tulisan ini terinspirasi dari karya Ken Young (1994) dan Fikrul Hanif Sufyan (2017 & 2021). Di dalam karyanya, Ken Young berbicara mengenai peristiwa gerakan anti pajak di Sumatra Barat yang terjadi sebelum ideologi komunis masuk ke wilayah tersebut. Sementara karya Fikrul Hanif Sufyan bercerita mengenai sosok Haji Datuak Batuah dengan ideologi “kuminih”-nya serta pertarungan wacana keagamaan antara gerakan modernis dan komunis. Saya mencoba menjembatani kronologi tersebut dalam nuansa gerakan sosial Islam, berangkat dari perspektif bacaan atas karya Quintan Wiktorowicz, eds. (2003).
Saya berusaha menjahit data-data dari beberapa
karya tersebut dengan menggunakan teori “Tindakan Sosial (Max Weber)”. Hal ini dikarenakan
karya Ken Young berbicara mengenai peristiwa yang terjadi sebelum ideologi
komunis masuk ke Minang, sementara karya Fikrul Hanif Sufyan berbicara mengenai beberapa
peristiwa pasca ideologi komunis masuk ke tersebut secara umum. Ken
Young berbicara mengenai (sebagian gerakan) Sufi, dan Fikrul Hanif Sufyan
berbicara mengenai komunis, maka saya memosisikan ‘Sufi’ dan ‘Komunis’ sebagai
inti pembahasan.
Sebagai kesimpulan, saya mengamini pandangan dari
Amri Marzali (2020) dalam artikel jurnalnya. Ia mengkritik pandangan beberapa
pakar sejarah mengenai penyebutan ‘komunis’ dalam pemberontakan di Silungkang (1926-1927)
dan memilih istilah “Gerakan Islam Revolusioner” sebagai ganti dari gerakan komunis tersebut. Namun, di dalam artikel ini, saya berusaha untuk memerlihatkan posisi kaum Sufi dalam gerakan tersebut—yang benar-benar
terlibat dalam gerakan sosial—sekaligus sebagai anti-tesis bahwa kaum Sufi hanya (senang) berdiam diri (meditasi).
Selengkapnya, tulisan saya tersebut dapat dibaca di:
"Between Sufism and Marxism: Social Religious Movements in Twentieth Century-Minangkabau" by In'amul Hasan & Nurwahidin (2023).
Komentar
Posting Komentar