- Judul Buku : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api
- Penulis : Arif Maftuhin
- Penerbit : Gading Publishing
- Cetakan : I, Des 2022
- Tebal : xii + 209 halaman
- ISBN :
978-623-88200-2-3
Dok. pribadi (Lokasi: Gn. Slamet) |
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea
pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib)
Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam
aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina.
Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin
mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan
terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha
menyampaikan narasi terkait konflik ini hingga kita yang hidup saat ini
tersesat dan tidak mengetahui ujung pangkalnya. Di buku ini juga Arif Maftuhin
mencoba membangun narasi sebagai pihak ketiga tanpa ada rasa kebencian.
Arif Maftuhin mengamati Yerusalem, Israel dan
Palestina selama kurang lebih satu tahun lamanya. Ia menuliskan pengalaman
hidupnya tersebut dalam buku ini. Cerita-cerita yang disajikan terkadang
membuat kita tertawa, terharu, dan mencengangkan. Buku ini berhasil membuka
cakrawala kita sebagai orang Indonesia dalam melihat konflik Israel-Palestina secara
manusiawi.
Arif Maftuhin benar-benar menyadari alasan
Indonesia membangun narasi kebencian atas Israel. Setidaknya alasan tersebut
benar-benar mengacu kepada paragaraf pertama tulisan ini. Narasi tersebut juga
tersebar luas seantero Indonesia, baik di atas mimbar masjid maupun di jalanan.
Namun, apakah benar demikian adanya?
Dibalik alasan yang disebutkan di atas, Indonesia
terlihat tidak konsisten. Indonesia seharusnya memutuskan hubungan dengan Rusia
akibat invansi (penjajahan)-nya atas wilayah Ukraina. Belum lagi hubungan
Indonesia-Israel dalam bidang ekonomi sudah terjalin secara tidak langsung. Hal
ini seolah-olah terlihat bahwa Indonesia menampakkan perbedaan sikap di depan
dan belakang layar (hlm. 5).
Konflik Israel-Palestina murni masalah
politik, tidak bisa ditarik ke dalam ranah agama sebagaimana yang acapkali
digaungkan oleh pendakwah di Indonesia dengan sesekali mengutip beberapa ayat
dari Al-Quran. Israel adalah Yahudi, dan Yahudi dinarasikan di dalam Al-Quran
sebagai ancaman yang jelas di depan mata. Narasi bahwa Israel menodai situs
umat Islam, yang menjadikan agama terlihat sebagai korban konflik ini (hlm. 66).
Masjid Al-Aqsa adalah hak (politik) Israel
untuk saat ini. Ia berhak melarang siapa pun yang masuk ke dalamnya. Arab Saudi
saat ini juga melakukan hal yang sama. Arab Saudi berhak melarang non-muslim
untuk memasuki Madinah, sementara Nabi saw menjadikan Madinah sebagai pusat
pemerintahan. Artinya, siapa pun seharusnya bisa memasuki Madinah termasuk
non-muslim.
Indonesia di mata orang-orang Palestina
dikenal sangat baik, pemberi dan pemurah. Bantuan-bantuan kemanusiaan terus
dikirimkan tanpa henti. Alasannya, kita adalah saudara. Baik itu saudara sesama manusia apalagi sesama iman. Intinya, orang
Palestina menyukai Indonesia dibandingkan negara di Timur Tengah lainnya yang sepertinya
tidak peduli (lagi) akan nasib mereka.
Sebelum membaca buku ini,
saya sebagai peresensi sudah terlebih dahulu
membaca buku karya Elie Podeh dengan judul The Arab-Israeli Conflict in
Israeli History Textbooks, 1948-2000 (Bergin & Garvey, 2002). Di dalam
buku tersebut dijelaskan narasi-narasi yang dibangun dalam buku pembelajaran sejarah
di sekolah-sekolah Israel tentang konflik Arab-Israel dalam kurun waktu yang
disebutkan.
Elie Podeh menyatakan bahwa banyak bias dan distorsi dari sejarah Yahudi sebelum Islam muncul, hingga saat
ini. Di dalam penelitiannya terhadap buku pembelajaran tersebut, narasi yang
dibangun adalah dengan menyudutkan bangsa Arab
sekaligus memuji bangsa Yahudi. Yang menarik adalah tentang tanah kosong (Palestina)
yang diperebutkan hingga saat ini. Siapakah yang berhak atas tanah itu? Sekali
lagi, pertanyaan itu tidak akan bisa dijawab karena sudah sangat sulit untuk
diurai.
Arif Maftuhin juga
menyadari akan hal itu. Teks-teks Islam juga melakukan
hal yang sama dengan membangun narasi yang kontra. Ada saatnya ayat Al-Qur’an atau teks hadis yang membangun sikap anti-Yahudi,
dan itu seharusnya bersifat kontekstual. Di sisi lain, ada saatnya juga Nabi
menunjukkan kebersamaan dan keakraban dengan orang Yahudi. Namun, seringkali
sikap anti-Yahudi itu tampak ke permukaan di kalangan umat Islam saat ini.
Pembahasan tentang
kedekatan Islam dan Yahudi menjadi menarik untuk dikaji. Islam meyakini Nabi dari kalangan
Yahudi (Bani Israil), seperti: Ibrahim dan
Daud. Yahudi itu saudara tua. Untuk menyederhanakannya, anggaplah Yahudi itu seperti
iPhone yang lebih dahulu diproduksi, sedangkan Islam iPhone yang
lebih update. Ingat, dari pabrik yang sama, bukan tiruan ya. Atau dalam
kajian studi agama masuk ke dalam pembahasan Abrahamic Religion.
Banyak hal yang menarik
yang disampaikan Arif Maftuhin dalam buku ini. Misalnya, tidak semua orang Yahudi itu sesuai dengan
ideologi Zionisme. Sebagian kelompok dalam agama Yahudi juga menolak ideologi tersebut. Bahkan ada juga perkampungan Yahudi yang pro terhadap
(kemerdekaan) Palestina.
Yerusalem, yang menjadi
judul buku ini diartikan sebagai Kota Damai oleh sebagian orang. Akan tetapi,
bukti-bukti sejarah mengatakan hal lain. Kota Damai yang sedang merindukan
perdamaian itu sebenarnya sedang mencari kedamaian. Namun, selama masa lalu dan agama dijadikan sebagai dasar untuk mencari kedamaian, jangan harap ada jalan keluar.
Pada intinya, dalam buku ini, Arif Maftuhin menekankan kepada kita sebagai orang Indonesia untuk mendengar dan memahami konflik Israel-Palestina, bukan beradu argumen dengan sentimen agama. Semakin banyak argumen atau narasi kebencian bermunculan, semakin kusut benang hingga masalah tak akan pernah terselesaikan.
***
Master Student in Middle Eastern and Islamic Studies, School of Strategic and Global Studies (SSGS), Universitas Indonesia.
-----------------
Keterangan:
Tulisan ini diterbitkan pertama kali oleh harakatuna.com tanggal 29 Oktober 2023 di kolom Khazanah>Resensi Buku. Tulisan ini kemudian menjadi arsip (di blog) pribadi bagi penulis.
Komentar
Posting Komentar