Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar 'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari
Judul Buku : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis : Arif Maftuhin Penerbit : Gading Publishing Cetakan : I, Des 202 2 Tebal : x ii + 209 halaman ISBN : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait