Setiap ‘muslim’ berusaha untuk mengamalkan alquran dan hadis dalam
setiap keadaan. Pengamalan alquran dan hadis banyak dipengaruhi oleh lingkungan
sekitar, kajian yang diikuti serta organisasi keagamaan dengan idelogi
tertentu. Sehingga, pada akhirnya seorang muslim melakukan amalan seseuai
dengan garis-garis yang telah ditetapkan oleh lingkungannya, kajian serta
organisasi yang diikutinya. Itulah yang terjadi pada keluarga Rakhmad (nama disamarkan).
Rakhmad merasa nyaman ikut dalam Majelis Mujahidin di mana
sebelumnya ia bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU). Sekarang, Ia memiliki
jenggot di bawah dagunya serta biasa menggunakan celana cingkrang. Istrinya,
Nisa selalu menggunakan jilbab besar serta berkaus kaki ketika keluar rumah.
Rakhmad selalu menghentikan aktivitasnya ketika azan telah berkumandang dan
sesegera mungkin pergi menuju masjid. Ketika salat berjamaah, ia selalu
merapatkan shaf dengan menempelkan bahu dan kelingking jari kaki dengan makmum
di sebelahnya. Artinya, tidak ada ruang antara ia dan makmum di sebelahnya.
Apa yang diamalkan oleh Rakhmad bersumber kepada hadis Nabi saw,
yang menjadi panutan bagi setiap muslim. Namun, Rakhmad mengamalkan hadis-hadis
tersebut secara tekstual. Mulai dari memakai jenggot, celana cingkrang, hingga
merapatkan shaf ketika salat berjamaah. Begitulah keluarga Rakhmat hidup dalam
naungan teks-teks hadis (living hadis). Teks-teks hadis tersebut menjadi
hidup dalam keluarga Rakhmat, walaupun ada teks hadis lain yang setema yang dapat
didialogkan dengan memperhatikan konteks hadis.
Dalam hal ini, untuk melihat hadis tidak dapat dengan hanya melihat
teksnya saja. Namun, kita juga harus melihat konteks hadis tersebut. Misalnya,
persoalan jenggot. Pada saat hadis tersebut muncul (asbāb al-wurūd),
Nabi menyuruh untuk membedakan dengan kaum musyrikin. Begitu juga dengan
persoalan minum sambil berdiri, termasuk larangan atau apa? Karena ada juga
hadis yang menjelaskan akan kebolehan minum sambil berdiri. Praktik yang
berbeda ini –yang bersumber dari hadis– patut untuk diamati. Karena menurut
Anthony Giddens, ada aktor yang berperan dalam time and space tertentu.
Keluarga Rakhmat menjadikan hadis sebagai
“syari’ah sehari-hari”, sehingga yang paling berperan dominan adalah keyakinan
melaksanakan syari’ah dalam kehidupan nyata. Keluarga Rakhmat ini secara tidak
langung telah mengamalkan hadis tanpa melihat konteks hadis tersebut. Karena,
di sisi lain teks-teks hadis berpotensi melahirkan perdebatan, sehingga
munculnya “formalisasi syari’ah”.
Adapun yang harus dilihat dari teks-teks hadis adalah nilai-nilai yang dimunculkan oleh
Nabi saw. Namun, sebagian orang enggan melihat ini karena beberapa faktor.
Sehingga, agama menjadi identik dengan bangunan sosial yang “dihuni” oleh
sebagian komunitas tertentu (tertutup). Memang, dilihat sekilas keluarga
Rakhmat memiliki kontribusi menjadikan hadis terintegral dengan kehidupannya
sehari-hari.
Kecenderungan sosiologis yang dilakukan
seseorang terhadap hadis dengan menjadikannya sebagai: 1) kebiasaan, 2)
kewajiban, dan 3) akhlak dan fikih. Kecenderungan 1 dan 2 tidak terlalu
dipermasalahkan. Akan tetapi, yang ketiga memiliki masalah yang sulit
ditoleransi. Apakah ini akhlak atau fikih? Sehingga muncul perdebatan di
berbagai kalangan. Namun, tetap saja, antara tekstualis dan kontekstualis
sama-sama menjadikan Nabi saw. sebagai pedoman utama dalam memperlakukan hadis.
Sebagai penutup, Giddens percaya bahwa ruang (space) dan waktu (time)
turut mempengaruhi reproduksi struktur sosial yang dbentuk oleh tindakan para
agen tanpa kehadiran struktur sosial.
Komentar
Posting Komentar