Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Antara Teks dan Pengamalan dalam Jama'ah Tabligh

[Masyaikh Jama'ah Tabligh di India] Maulana Muhammad Ilyas al-Kanda h lawi -sebagai pendiri- tidak secara spesifik menyebutkan bahwa   gerakan yang ia bangun disebut sebagai Jamā’ah Tablīgh (JT). Akan tetapi, pada akhirnya orang-orang menyebut gerakan ini sebagai Jamā’ah Tablīgh karena mereka bergerak menyampaikan (tablīgh) hal dan ihwal tentang iman dan amal shaleh. Gerakan ini ditopang dengan kitab-kitab karya ulama hadis dari gerakan ini, yaitu Maulana Muhammad Zakariyya dengan judul Faḍāil al-A’māl . Kitab ini berlandaskan kepada syariat al-Qur’an, terutama hadis, sebagai penunjang praktik keagamaan serta membentuk pengorganisasian dan pengalaman gerakan ini. Mereka menghayati teks tersebut untuk diamalkan sedemikian rupa. Selain itu, JT juga membangun kerangka teoritis untuk mengkritik budaya otoritatif. Dari kritikan tersebut, muncullah istilah nisab , dan sebagainya untuk menegaskan amal ibadah, salat, membaca al-Qur’an, zikir puasa, haji, sedekah serta amalan la

Refleksivitas: Menyuarakan Keber-Islaman dari Praktik Lokal*

Oleh: In'amul Hasan Hadis -bersumber dari Nabi saw.- menjadi petunjuk dan diamalkan oleh kaum muslimin seluruh dunia. Pada perjalanannya, hadis kemudian menyebar dan dibukukan (kodifikasi) hingga sampai ke Nusantara. Di madrasah dan pesantren, kitab hadis tersebut diajarkan secara tradisional dengan gaya yang khas pada masing-masing daerah. Secara historis, kitab hadis yang diajarkan oleh ulama/kiai ( cultural borker ) tersebut mengalami dinamika. Hal ini disebabkan oleh faktor jauhnya jarak yang merentang antara zaman dan geografis dari sunnah hingga terkodifikasi. Maka, terdapatlah aspek keragaman cara dan bacaan atas teks-teks hadis. Berhubungan hadis kini dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat muslim yang beragam, maka disinilah kajian living hadis menempati perannya. Studi living hadis mengalami beberapa fase dalam pemantapannya. Pada tahun 2013-2017, terdapat 8 (delapan) skripsi yang menggunakan teori dan metode living hadis. Dari tahun 2013-2014, living hadis diseb

Balai Pustaka dan Minangkabau

Balai Pustaka dan Minangkabau Duhulu, buku-buku pelajaranku diisi oleh penerbit Balai Pustaka hingga kelas 3 SD. Kemudian digantikan oleh penerbit Erlangga hingga kelas 6 SD. Dan pernah juga memakai buku terbitan Tiga Serangkai dan Yudhistira, tapi sebentar saja. Entah kenapa diganti-ganti. Kemungkinan besar karena munculnya   kurikulum KBK (2004) yang kemudian disusul oleh KTSP (2006), sehingga buku terbitan Balai Pustaka tidak relevan lagi untuk digunakan. Sewaktu memakai buku terbitan Balai Pustaka, hal yang paling disukai adalah membaca penggalan cerita di buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dikarang oleh Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, seperti: Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (Abdul Muis), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Hamka), dan pengarang lain sebagaimana tertera di atas[1] (kecuali   dua buku bagian kanan). _______________________________________ Diskusi pada hari Minggu (03/3/19) di SaRang Building[2] dengan tema   ‘Pertalian Adat dan Syarak:

Analisis Framing dan Paradigma Konstruksionis

Analisis Framing* A. Pengantar: Kenapa Fram ing ? Sebagai pembaca koran, pendengar radio, pemirsa TV atau (saat ini) sebagai aktivis media sosial, kita seringkali kebingungan dengan peristiwa-peristiwa yang diberitakan oleh media. Ketika suatu peristiwa diliput oleh stasiun TV tertentu, namun pada saat yang sama tidak diliput oleh   yang lain, atau stasiun TV terbebut meliput suatu peristiwa dan melupakan peristiwa yang lain. Atau bisa juga, dua media yang berbeda yang berbeda meliput suatu peristiwa, namun hasilnya berbeda. Kemudian muncul banyak pertanyaan. Kenapa peristiwa ini diliput, sementara peristiwa yang itu tidak?   Kenapa hanya sisi ini saja yang diliput? Kenapa tidak aspek ini yang ditonjolkan? Kenapa ini hilang dari pemberitaan? Kenapa bagian ini ditekankan oleh media, sementara yang lain dikaburkan? Semua pertanyaan tersebut dapat dijawab menggunakan konsep ‘framing’. Dalam hal ini, media bukanlah saluran yang bebas. Ia mengubah realitas melalui sebuah prose