Oleh: In'amul Hasan
Hadis -bersumber dari Nabi saw.- menjadi petunjuk dan diamalkan
oleh kaum muslimin seluruh dunia. Pada perjalanannya, hadis kemudian menyebar
dan dibukukan (kodifikasi) hingga sampai ke Nusantara. Di madrasah dan
pesantren, kitab hadis tersebut diajarkan secara tradisional dengan gaya yang
khas pada masing-masing daerah.
Secara historis, kitab hadis yang diajarkan oleh ulama/kiai (cultural
borker) tersebut mengalami dinamika. Hal ini disebabkan oleh faktor jauhnya
jarak yang merentang antara zaman dan geografis dari sunnah hingga
terkodifikasi. Maka, terdapatlah aspek keragaman cara dan bacaan atas teks-teks
hadis. Berhubungan hadis kini dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat muslim
yang beragam, maka disinilah kajian living hadis menempati perannya.
Studi living hadis mengalami beberapa fase dalam pemantapannya.
Pada tahun 2013-2017, terdapat 8 (delapan) skripsi yang menggunakan teori dan
metode living hadis. Dari tahun 2013-2014, living hadis disebut sebagai metode
yang menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, dan psikologi, tetapi belum
sebagai alat analisis. Kemudian pada tahun 2016-2017, living hadis baru disebut
sebagai teori yang lebih spesifik (fenomenologi, sosiologi).
Adapun dalam bentuk jurnal, dari tahun 2013-2016 terdapat 14 karya
yang dipublikasikan di berbagai jurnal. Umumnya, karya jurnal ini menjadikan
praktik ritual sebagai objek materialnya. Aspek lain yang juga berhubungan erat
dengan karya jurnal adalah persoalan resepsi masyarakat terhadap hadis. Banyak
persoalan yang dihadapi oleh peneliti ketika observasi terkait dengan resepsi
ini.
Untuk itu, perlu diketahui bahwa resepsi secara etimologi dapat
dipahami sebagai act of receiving something, yaitu sikap
pembaca (juga tindakan) dalam menerima sesuatu. Sebagai contoh, dalam hal ini resepsi
atas al-Quran sendiri, yang dibedakan dari tafsir dan hermeneutika. Tafsir
lebih kepada interpretasi dan hermeneutika lebih menekankan pada seperangkat
aturan dan prinsip dalam menginterpretasikan atas teks.
Teori resepsi memiliki hipotesis bahwa dalam setiap karya sastra
selalu memiliki dua cakupan makna, yaitu makna itu sendiri dan signifikansi
makna. Adapun resepsi al-Quran memiliki tiga bentuk, yaitu: exegesis (tindakan
penafsiran), aetetis (keindahan al-Quran), dan fungsional (perlakuan terhadap
teks). Secara sederhana, resepsi terhadap hadis umumnya dimulai dari exegesis
kemudian baru resepsi yang lainnya. Artinya, ada peran sentral ulama tingkat
lokal yang melakukan pembacaan terhadap teks hadis tersebut. Adapun resepsi
fungsional atas hadis memiliki peran utama yakna fungsi informatif dan
performatif.
Fungsi infromatif dapat dipahami sebagai pendekatan interpretatif untuk memahami apa yang tersurat
di dalam sebuah teks. Praktik seperti Shalat Kajat (2013) atau Tradisi
Riyadlah Puasa Daud untuk Menghafal al-Quran (2014). Sedangkan fungsi performatif adalah
apa yang dilakukan oleh khalayak terhadap teks itu sendiri. Praktik seperti Majelis Bukhoren dalam Tradisi Pembacaan Kitab al-Mukhtasyar lil Imam Bukhari Bulan Rajab yang merupakan fungsi performatif dari hadis.
Sam D. Gail menjelaskan fungsi informatif dan performatif sangat mungkin
terjadi di dalam masyarakat yang tidak terlalu memperhitungkan peran literasi
atas teks.
Dai pembahasan di atas, sebenarnya praktik
living hadis tidak pernah menafikan adanya teks hadis. Hanya saja melalui
fungsi informatif dan performatif keberadaan teks tidak selalu berupa. Peran
penelitian living hadis yang utama adalah menemukan dan mendeskripsikan kedua
sturktur tersebut (teks dan tindakan). Kesadaran dalam melakukan penelitian
sosial atas fenomena hadis memerlukan peran peneliti untuk menunjukkan teks
hadisnya juga. Keberadaan peneliti sebagai pengkaji hadis akan mempengaruhi
hasil riset. Inilah yang disebut dengan refleksivitas. Kosep refleksivitas ini menekankan pada proses dimana individu melakukan pengujian,
menempuh strategi untuk menempatkan dirinya di dalam suatu konteks tertentu.
Dalam konteks living hadis, refleksivitas
dapat dilihat dari beberapa aspek: Pertama, keberadaan dan keterlibatan
peneliti untuk menentukan suatu teks informatif dan performatif, yang menjadi
kunci refleksivitas seperti penelitian Khitan Perempuan di Kuntu Kampar
(2016). Kedua, menunjukkan peran sebagai subjek seperti penelitian Joged
Mataram (2014). Ketiga, peneliti menjadi bagian dari masyarakat yang
diteliti dan banyak dilakukan dalam penelitian living hadis. Maka, pada akhirnya, dengan refleksivitas studi living hadis harus dikembalikan
dengan menyuarakan keber-Islaman dari praktik lokal.
Sumber :
Sumber :
Zuhri, Saifuddin dan Subkhani Kusuma Dewi. Living
Hadis: Praktik, Resepsi, Teks dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media. 2018.
_________________________________
*Tulisan ini merupakan respon terhadap BAB III buku Living
Hadis: Praktik, Resepsi, Teks dan Transmisi (2018) dengan judul Peta Studi dan Problem Refleksivitas Living Hadis.
*Untuk mengenal lebih dekat dengan Jurnal Living Hadis, silakan klik http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Living/index
Komentar
Posting Komentar