Langsung ke konten utama

Balai Pustaka dan Minangkabau

Balai Pustaka dan Minangkabau
Duhulu, buku-buku pelajaranku diisi oleh penerbit Balai Pustaka hingga kelas 3 SD. Kemudian digantikan oleh penerbit Erlangga hingga kelas 6 SD. Dan pernah juga memakai buku terbitan Tiga Serangkai dan Yudhistira, tapi sebentar saja. Entah kenapa diganti-ganti. Kemungkinan besar karena munculnya  kurikulum KBK (2004) yang kemudian disusul oleh KTSP (2006), sehingga buku terbitan Balai Pustaka tidak relevan lagi untuk digunakan.
Sewaktu memakai buku terbitan Balai Pustaka, hal yang paling disukai adalah membaca penggalan cerita di buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dikarang oleh Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, seperti: Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (Abdul Muis), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Hamka), dan pengarang lain sebagaimana tertera di atas[1] (kecuali  dua buku bagian kanan).
_______________________________________

Diskusi pada hari Minggu (03/3/19) di SaRang Building[2] dengan tema  ‘Pertalian Adat dan Syarak: Islam Tradisi di Minangkabau’ dengan pembicara Inyiak Ridwan Muzir[3] menjadi sangat menarik.[4] Ketika dalam pembicaraan yang mengakui bahwa ‘Minangkabau itu dipenuhi dengan konflik (dialog) antara Islam dan Adat’, timbul pertanyaan, “apakah yang bertahan hingga saat ini –dari Minangkabau- dan memberikan kontribusi?” Salah seorang peserta diskusi –asal Lombok- memberikan tanggapan bahwa orang Minang telah berhasil memberikan kontribusi dalam dunia sastra dan bertahan hingga saat ini. Para hadirin  yang lain membenarkan hal itu yang ditandai dengan karya sastra Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru tersebut, dan itu sangat memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk Tata Bahasa Indonesia, peralihan dari Sastra Melayu Lama dan Pujangga Lama.
Adapun buku-buku di atas, merupakan bagian dari nostalgia terhadap karya-karya angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, dan termasuk untuk mengetahui sejarah sosial tanah Minang pada waktu itu. Buku-buku tersebut 'terpaksa' dibeli -dengan harga yang cukup menguras uang saku (living cost)- pada tanggal 6 Maret 2019 di Patjar Merah, sebuah festival literasi dan pasar buku di Jogja. Tapi sayang, karya dari Abdul Muis (kelahiran: Sungai Pua, Agam, Sumatra Barat) terbitan Balai Pustaka yang berjudul ‘Salah Asuhan’ tidak kutemukan.
_______________________________________ 
[1] Buku yang terdapat pada foto: Sengsara Membawa Nikmat (Tulis St. Sati), Salah Pilih (Nur St. Iskandar), Layar Terkembang (St. Takdir Alisjahbana), Dari Eve Maria ke Jalan (Idrus), Hulubalang Raja (Nur St. Iskandar), Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani), Kenang-Kenangan Hidup 1 dan 2 (Hamka), Sengketa (Wandi Badindin), dan Api Paderi (M. Sholihin).
[2] SaRang Building: Galeri Seni di Jalan Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
[3] Inyiak Ridwan Muzir: Pengkaji Islam Tradisi di Minangkabau, Alumni Tarbijah Islamijah-Canduang, Alumni Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga (S1), Alumni Univ. Sanata Dharma (S2), Penerjemah buku 'Seven Theories of Religion' karangan Daniel L. Pals.
[4] Untuk membaca esai tentang diskusi tersebut, klik https://langgar.co/minangkabau-pertalian-adat-dan-syarak/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

  Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘ Revo 110cc ’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kala u motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman . “Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.   Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok. Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok. Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi ol

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

  Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari