Langsung ke konten utama

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

 

Sumber foto: commons.wikimedia.org

Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnyaHaji Abdul Karim Amrullahhingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang. Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir.

Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari perdebatan Islam dan adat Minangkabau yang ‘mengikat’ ayahnya, mempertahankan Kemerdekaan RI, menjadi Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), hingga adiknyaAbdul Wadud Karim Amrullah (Willy Amrull)yang menjadi seorang pendeta.

Pertama, beliau amat menyesalkan ayahnya yang terlalu banyak menghabiskan waktu di Tanah Adat demi mengkritisi Adat Minangkabau sehingga ia tidak terlalu mempedulikan Tanah Air. Buya Hamka dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau (1984) mengatakan, “Terang-terangan Dr. Abdul Karim Amrullah (Ayah Hamka) menyatakan di tanah pembuangannya, seketika dekat saat wafat: Adatlah yang mengorbankan saya!”

Sepertinya Buya Hamka berusaha memperbaiki ‘kesalahan’ ayahnya. Sejak kecil ia ingin sekali meninggalkan Tanah Minang. Ia mulai pergi ke Tanah Jawa, berkenalan dengan Muhammadiyah, bertemu dengan Bung Hatta di Yogyakarta, belajar dengan Ki Bagus Hadikusumo, mengenal Serikat Islam (SI), belajar berpidato, bahkan pada saat itu ia telah berniat untuk tidak menikahi gadis Minang. Namun, ia dipanggil pulang oleh ayahnya untuk dinikahkan dengan dengan orang kampungnya sendiri yang masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga ayahnya.

Menurutnya, memang benar bahwa orang Minangkabau menjadi besar namanya jika ia telah meninggalkan (merantau) Tanah Adat. Misal, Syekh Ahmad Khatib yang mengkritisi adat Minang dan kemudian menetap di Mekah dan menjadi Khādim al-Ḥaramain di sana. Begitu juga dengan Bung Hatta, Agus Salim, Nazir Sutan Pamuntjak, Sutan Sjahrir, termasuk Tan Malaka. Mereka telah meninggalkan Tanah Adat dan menjadi orang besar dan berguna bagi Tanah Air. Sepertinya, di sini Buya Hamka mengkritik orang-orang Minang yang hanya membangga-banggakan Bung Hatta, dkk tanpa mengikuti jejak-jejak mereka yang meninggalkan Tanah Adat untuk Tanah Air.

Tetapi sedikit-banyaknya, Ayah Buya Hamka telah memberikan kontribusi yang banyak terhadap Tanah Air, mulai kiprahnya mendirikan Thawalib School sebagai sekolah Islam Modern pertama di Indonesia, mengisi Majalah al-Munir yang senantiasa dibaca oleh K.H. Ahmad Dahlan, hingga kiprahnya di bidang politik. Kedekatannya dengan KH. A. Wahid Hasyim hingga Hamka menjadi sangat dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) di Departemen Agama (Depag). Ia pernah juga diasingkan di Sukabumi karena dianggap berbahaya oleh Belanda. Mungkin, sudah seharusnya alumni Thawalib School mengusulkann agar menjadikan beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Kedua, kontroversi fatwa ‘Natal Bersama’, di mana beliau memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua Umum MUI daripada mencabut fatwa tersebut. Saya rasa tidak perlu lagi menjelaskan hal ini, karena sudah banyak yang memperdebatkan dan sudah diklarifikasi oleh anak-anak beliau. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah tatkala isu agama muncul, orang-orang yang berada di ‘Islam Kanan’ selalu mengutip quotes, “Jika kamu diam saat agamamu dihina, maka gantilah bajumu dengan kain kafan”. Dan sepertinya kita perlu membaca keseluruhan karya Buya Hamka agar tidak selalu mengutip quotes tersebut yang dapat memunculkan stigma bahwa Buya Hamka adalah sosok yang ‘intoleran’.

Di sisi lain, Buya Hamka juga pernah mengkritik orang-orang yang anti-Barat. Seperti halnya orang yang mengkritik Barat di atas oto (mobil), orang yang menghina Barat melalui pesawat telepon, dan masih banyak contoh yang lain. Artinya, menjadi aneh ketika seseorang mengkritik Barat sedangkan ia menggunakan produk Barat itu sendiri. Mungkin untuk konteks zaman sekarang, orang yang menghina Barat menggunakan Facebook, WhatsApp dan lain-lain sebagainya. Dengan membaca buku 4 Bulan di Amerika karangan Buya Hamka, tentunya akan dapat memberikan rasa takjub yang luar biasa terhadap kehidupan manusia modern, Tanah Air tercinta, dan hakikat diri seorang manusia.

Ketiga, amat disayangkan tatkala Minangkabau sempat dihebohkan dengan seorang Pendeta Willy Amrul (Abdul Wadud Karim Amrullah) yang merupakan adik tiri se-ayah dari Buya Hamka sendiri. Selengkapnya, kisah tentang adik Buya Hamka ini dapat di baca di dalam buku “Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran” yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2012 oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta. Tetapi, setelah membandingkan dengan catatan Irfan Hamka, Willy Amrul ini memiliki hubungan baik, ditandai dengan kehadirannya pada saat Buya Hamka wafat.

Saya adalah orang yang penasaran dengan sikap Buya Hamka jika beliau masih hidup ketika mengetahui bahwa adiknya telah berpindah haluan. Namun sayang, berdasarkan catatan Willy Amrul, ia dibaptis pada tahun 1983 sedangkan Buya Hamka wafat pada tahun 1981. Dan ketika Buya Hamka ke Amerika pada tahun 1952-an, Willy Amrul juga sempat menemani Buya Hamka berkeliling di Amerika dan ketika itu Buya Hamka masih memanggil adiknya dengan nama Abdul Wadud Karim Amrullah.

Adapun Buya Hamka sangat diwanti-wanti oleh ayahnya ketika merantau, “Jangan sampai engkau menjadi komunis”. Mungkinkah ayah Buya Hamka hanya mewaspadai komunis karena tidak (butuh) memiliki agama? Atau termasuk juga mewaspadai bahaya kristenisasi? Hal ini dikarenakan jika ada orang Minang yang keluar dari Islam, berarti ia telah meninggalkan Minang-nya berdasarkan ‘Sumpah Satie (Piagam) Bukik Marapalam’Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Oh, iya. Bukankah Buya Hamka telah menulis bahwa adat Minangkabau akan menghadapi revolusi dan evolusi juga pada akhirnya? Termasuk pada bagian agama-kah? Wallāhu A’lam

-----------------------------------------------------------------
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh cssmorauinsuka[dot]net pada tanggal 17 Februari 2019. Namun website tersebut tidak dikelola lagi/berpindah tangan. Akhirnya, saya mengarsipkan tulisan ini  agar bisa diakses lagi oleh para pembaca sembari mengenang 116 Tahun Buya Hamka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai den...

Sufisme, Komunisme dan Modernisme: Gerakan Sosial Keagamaan di Minangkabau abad ke-20

  Pada awalnya, tulisan ini terinspirasi dari karya Ken Young ( 1994 ) dan Fikrul Hanif Sufyan ( 2017 & 2021 ). Di dalam karyanya, Ken Young berbicara mengenai peristiwa gerakan anti pajak di Sumatra Barat yang terjadi sebelum ideologi komunis masuk ke wilayah tersebut. Sementara karya Fikrul Hanif Sufyan bercerita mengenai sosok Haji Datuak Batuah dengan ideologi “ kuminih ”-nya serta pertarungan wacana keagamaan antara gerakan modernis dan komunis. Saya mencoba menjembatani kronologi tersebut dalam nuansa gerakan sosial Islam, berangkat dari perspektif bacaan atas karya Quintan Wiktorowicz,  eds.  ( 2003 ). Saya berusaha menjahit data-data dari beberapa karya tersebut dengan menggunakan teori “ Tindakan Sosial (Max Weber)”. Hal ini dikarenakan karya Ken Young berbicara mengenai peristiwa yang terjadi sebelum ideologi komunis masuk ke Minang, sementara karya Fikrul Hanif Sufyan berbicara mengenai beberapa peristiwa pasca ideologi komunis masuk ke tersebut secara ...

Kenangan Bersama Orang Tua Kami: Haji Syaukani Sani (1960-2024)

  Foto: Diniyah Limo Jurai Waktu itu, ketika kami duduk di kelas 1 B (kelas 1 Mts), beliau mengampu mata pelajaran fikih dengan memperkenalkan kitab “ Al-Ghāyah wa Al-Taqrīb ”. Kitab tipis dengan “ ilmu salangik ” di dalamnya ini beliau terangkan kepada kami kata per kata. Tak ada satu pun mufradat yang terlewatkan. Beliau menjelaskan dengan sangat jelas, dengan bahasa Indonesia yang (terkadang) diselingi dengan bahasa Minang dengan dialek ‘Sungai Pua/Cimbuak’. Angkatan kami, yang masuk pada tahun ajaran 2009/2010 merupakan angkatan yang tidak cukup beruntung diajar oleh beliau. Meskipun beliau sudah masuk ke kelas kami di tahun pertama menginjakkan kaki di Diniyah Limo Jurai, ternyata satu tahun itu saja kami diajarkan oleh beliau di bangku formal. Setelah 1 tahun ajaran (2009/2010) itu berlalu, beliau pun berlalu meninggalkan Diniyah Limo Jurai dengan mencari kesibukan yang lain. Saya tidak mengetahui pasti awal mula beliau menjabat sebagai Kepala Madrasah (dibaca: mudir, seb...