Langsung ke konten utama

LIVING HADIS: Upaya Menghidupkan Kembali Studi Hadis

Oleh : In'amul Hasan*
Judul tulisan ini dibuat dalam keadaan sadar sebagai bentuk review terhadap BAB I buku “Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi (2018)”. Secara ringkas, menurut hemat penulis -berdasarkan hasil bacaan- living hadis menjadi kajian yang menghidupkan kembali studi hadis setelah mengalami ‘kebekuan’ (hal.7). Dengan adanya living hadis, tentu memberikan warna baru terhadap studi hadis yang terintegrasi dengan disiplin keilmuan lain. 
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, bahasa, suku, agama dan sebagainya. Masuknya Islam ke Indonesia, secara otomatis menjadikan agama dan budaya nenek moyang mengalami akulturasi. Dengan adanya ‘dialog’ antara agama dan budaya, memunculkan fenomena-fenomena beragama menjadi tetap hidup dalam suatu bentuk tradisi yang diilhami oleh hadis-hadis dan bersinggungan dengan budaya.
Adalah menarik rasanya, ketika kajian hadis menjadi lebih ‘hidup’ kembali setelah diintegrasikan dengan ilmu-ilmu lain. Salah satunya adalah produk kajian yang digagas oleh dosen-dosen Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga ditandai dengan diterbitkannya buku Metodologi Penelitian Living al-Quran dan Hadis (2007)”  serta buku Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi (2018)”. Sebagaimana yang diketahui, kajian hadis selama ini fokus pada sanad dan matan saja yang berangkat dari teks. Berbeda halnya dengan living hadis, dimana kajiannya memfokuskan praktik yang berkembang di masyarakat sebagai landasan. 
Istilah ‘Living Hadis’ menjadi menarik karena secara umum orang memahami bahwa term dari ‘hadis’ sama dengan ‘sunnah. Maka secara tekstualis, sebagian orang -pengalaman penulis- mengatakan bahwa living hadis adalah upaya menghidupkan hadis di masyarakat. Namun, dalam hal ini ‘Living Hadis’ berlandaskan (bertitik-tumpu) kepada praktik (bukan teks) yang berkembang di masyarakat yang terinspirasi dari literatur-literatur hadis. 
Pada dasarnya, sesuatu yang baru akan menjadi menarik tentunya. Begitu juga dengan living hadis yang menjadi salah satu cabang/ranah baru dalam kajian hadis. Hal ini akan menjadi salah daya tarik tersendiri bagi Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga. Namun, di sisi lain Prodi Ilha mendapatkan tantangan baru untuk terus membenahi kajian ini dan terus men-sosialisasikannya agar dapat dirasakan oleh Prodi Ilha di PTKIN/PTKIS di seluruh Indonesia. Sebagai bentuk kesungguhan, Prodi Ilha UIN Sunan Kalijaga telah membuka sebuah jurnal dengan nama ‘Living Hadis’. Sebagai bentuk masukan, bagi Prodi ILHA di PTKIN/PTKIS lain yang mengalami stagnan (kebekuan), sudah seharusnya untuk mengadopsi kajian living hadis sebagai mata kuliah wajib. 
Living Hadis dalam hal ini lebih kepada model kajian dalam studi hadis. Tetapi, dalam kajiannya, Living Hadis tetap memerlukan perangkat-perangkat metodologis, terutama teori-teori sosiologi dan antropologi.  Artinya, Living Hadis –sebagai kajian- merupakan suatu bentuk resepsi atas teks yang dilakukan oleh kelompok dalam bentuk praktik/tradisi dalam masyarakat yang memerlukan kerangka teori.
Selain itu, ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam kajian living hadis. Pertama, Fenomenologi yang merupakan salah satu studi dalam disiplin ilmu filsafat tentang makna. Adapun contoh tulisan dengan pendekatan ini yang -ditulis oleh Dr. Alfatih Suryadilaga-, “Mafhūm al-Ṣalawāt ‘inda Majmū‘āt Joged Shalawat Mataram: Dirāsah fī al-Ḥadīṡ al-Ḥayy (2014)”. Kedua, Naratif Studies yang merupakan studi atas peristiwa yang terjadi dan saling berhubungan, baik melalui pengalaman-pengalaman bentuk cerita. Penelitian menggunakan pendekatan ini masih jarang disentuh. Ketiga, Etnografi yang merupakan penelitian mengenai kebudayaan masyarakat. Untuk lebih jelasnya, etnografi adalah sebuah desain kualitatif di mana sang peneliti mendeskripsikan dan menafsirkan pola-pola yang sama dari nilai-nilai, perilaku, keyakinan dan bahasa dari sebuah kelompok berkebudayaan sama. Adapun contoh dari pendekatan ini adalah yang ditulis oleh Dr. Saifuddin Zuhri, “Kisah Dua Keluarga: Sebuah Kajian Etnografis (Memotret Kebudayaan Islami Berdasar Teks al-Quran dan Hadis pada Dua Keluarga di Yogyakarta), 2015”. Keempat, Sosiologi Pengetahuan. Sebagai contoh adalah bentuk kreativitas takmir Masjid Jogokaryan dengan memberikan ‘Umrah’ bagi yang aktif berjamaah di Masjid. Kelima, Sejarah Sosial yang dianggap penting, bukan hanya sejarah orang-orang besar/bangsawan saja yang perlu ditulis.

Sumber :
Zuhri, Saifuddin dan Subkhani Kusuma Dewi. Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media. 2018.

Sumber Gambar:
Ratik Togak Asal Rokan Hulu. Selengkapnya, lihat di: https://youtu.be/caNE0NE_Mrg

*Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

  Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘ Revo 110cc ’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kala u motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman . “Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.   Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok. Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok. Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi ol

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

  Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari