Langsung ke konten utama

Kedudukan ‘Teks’ dalam Kajian Living Hadis



oleh: In’amul Hasan*

Setelah melakukan review terhadap bab I dari buku “Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks dan Tranmisi (2018)” tentang sejarah living hadis, maka pada tulisan kali ini penulis melanjutkan untuk mereview bab II-nya tentang kedudukan teks dalam membentuk budaya umat Islam. Kemudian timbul pertanyaan, “Seberapa penting teks dalam Living Hadis?” Sebelumnya, telah diketahui pada tulisan sebelumnya, living hadis merupakan kajian yang berititik tumpu pada praktik yang terjadi di dalam masyarakat. Tetapi pada bagian ini, perlu dicatat bahwa teks juga berpengaruh dalam membentuk praktik yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam kajiannya, living hadis sangat sering menggunakan teori-teori antropologi dalam kajiannya. Dalam hal ini, seorang antropolog (hadis) terkadang mengalami kesulitan karena ia dipengaruhi oleh asumsi dan cara pandangnya terhadap dunia, agama dan ideologinya. Untuk memudahkan dalam pemahaman, Robert Redfield (1956) membagi agama menjadi tradisi besar dan kecil. Tradisi besar berangkat dari ortodoksi dan eskpresi agama/budaya yang berada di pusat, yang seringkali berangkat dari tradisi tekstual yang dikembangkan di instansi keagamaan, seperti: Pesantren. Adapun tradisi kecil adalah bentuk heterodoksi dari budaya/agama pinggiran, yang seringkali memasukkan tradisi lokal ke dalam agama dan jarang dijadikan objek penelitian.
Tetapi menurut Luken-Bull, tradisi lokal mampu menjadi besar dan melakukan yang namanya universalisasi. Sedangkan tradisi tinggi, dipelajari dengan ekspresi lokalitas maka itu sedang melakukan yang namanya kontekstualisasi/parokialisasi. Sebagai contoh, hadis-hadis tentang anjuran memberikan nama yang baik, akikah dan sebagainya, diekspresikan oleh masyarakat agararis muslim Indonesia ke dalam tradisi selapanan yang sudah kompleks tanpa ada dikotomis antara tradisi besar/kecil. Selain itu, John R. Bowen dan Abdul Hamid el-Zein juga memberikan pandangan yang bermacam-macam tentang kategorisasi tradisi besar-kecil.
Apa gunanya kategorisasi tradisi besar/kecil tersebut? Kegunaannya adalah untuk memahami ekspresi-ekspresi kultural yang beragam. Maka, sudah seharusnya tugas antropolog –sebagaimana yang dikatakan Lila Abou-Lughod– dalam menggambarkan Islam adalah dengan memunculkan beragam (banyak) ekspresi dari Islam. Maka dari sini masyarakat muslim dan keberadaan heterodoksinya dapat didekati dengan menggunakan alternatif cara pandang, Islam sebagai tradisi diskursif. Dan disini bisa dikatakan bahwa teks adalah tradisi besar dan pelaku praktik sebagai tradisi kecil.
Jika dihubungkan dengan perspektif teori living hadis, maka tugasnya adalah untuk menyingkap fenomena hadis di dalam masyarakat serta memahami fase-fase proses sebuah praktik budaya yang –didasarkan pada hadis– diproduksi secara sejarah sebagai bagian dari cara mempertahankan satu kepingan  tradisi dikursif tersebut. Pada akhirnya, living hadis akan menjawab pertanyaan, ‘What the real Islam?’
Kemudian bagaimana kaitannya dengan teks? Di dalam Islam, teks hadir untuk memberi pemahaman kepada umat Islam untuk membentuk/berpartisipasi dalam suatu tradisi yang luas. Dari teks tersebut, terbetuklah fikih berdasarkan ijtihad yang kemudian mengalami adaptasi dan keragaman. Sampai saat ini, teks menjadi salah satu unsur terpenting bagi umat Islam sebagai simbol, representasi yang menghubungkan dari otoritas antar komunitas muslim.
Penelitian Metcalf (2012) pada komunitas Jamaah Tabligh (JT) tentang penyampaian teks secara kontinyu dapat menjawab persoalan yang terjadi. Hal ini membuktikan adanya otoritas teks secara instrinsik yang berupaya melakukan kompetisi dan reproduksi budaya dari komunitas tersebut. Pada akhirnya, teks dapat mewakili untuk melahirkan tradisi tertentu. Kitab Faḍāil al-A’māl dan Hikāyah al-Ṣaḥābah menjadi otoritas yang sangat kuat bagi komunitas Jamaah Tabligh di seluruh dunia. Metcalf juga menyebutkan bahwa kitab-kitab tersebut menegaskan jati diri komunitas JT dalam menolak modernisme dan menunjukkan bahwa komunitas JT mencintai al-Quran. Maka, dapat dijelaskan juga teks juga dapat berasal dari motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dari contoh ini, teks berperan dalam membentuk adaptasi dan budaya bagi kehidupan sosial-budaya suatu komunitas muslim.
Metcalf juga menjelaskan fase-fase motivasi dan mood yang menghubungkan teks (aural) dengan praktik, yaitu: rasa keterpanggilan partisipan (komunitas muslim), membentuk set of mind dan set of conduct, dan pemilihan (choice) di dalam set of conduct. Dengan melakukan analisis secara diskursif, status otoritas teks sangatlah tergantung kepada (dependent on) ketepatan produksi di dalam praktiknya. Teks dan praktik tidak pernah terhubung secara instrinsik. Keduanya saling memberi makna; teks memperlihatkan diri sebagai bentuk konseptual yang objektif, sedangkan praktik berperan menunjukkan realitas sosial dan psikologis.

Sumber :
Zuhri, Saifuddin dan Subkhani Kusuma Dewi. Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks dan Transmisi. Yogyakarta: Q-Media. 2018.

Sumber Gambar

*Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

  Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘ Revo 110cc ’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kala u motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman . “Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.   Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok. Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok. Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi ol

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

  Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari