Langsung ke konten utama

Urgensi Sejarah Sosial dalam Living Hadis

Ilmu sosial menjadi perspektif baru dalam studi hadis, yang mungkin sedikit bergeser dari keilmuan ulumul hadis klasik. Hal ini tidak bisa dianggap salah karena 1) studi hadis mengalami kemunduran dalam beberapa aspeknya, dan 2) sebagai respon akademik melihat adanya gap antara hadis dan pengaplikasiannya di masyarakat.  Ilmu sosial, dalam hal ini adalah perspektif sejarah sosial pinggiran (periphery) memiliki peran penting dalam mengokohkan studi living hadis.

Ibnu Khaldun mengkritik cara narrator dalam menyampaikan sejarah. Narrator sejarah menyampaikan sejarah dengan sikap taklid, mencatat secara kronologis tanpa memperhatikan perubahan-perubahan masa dan tradisi dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Akibat dari kebiasaan ini, sejarah tidak berguna bagi generasi berikutnya. Ibnu Khaldun memberikan syarat penulisan sejarah dengan melihat objek materialnya mencakup sebab tindakan, perubahan, agama, peradaban, budaya dan lainnya.

Perspektif ilmu sejarah ini, sudah terbukti dapat memberikan cara pandang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabia Abbott. Ia tidak sepenuhnya meragukan derajat otentisitas hadis, karena ia melakukan refleksi terhadap sumber sejarah. Ia tidak hanya melihat sejarah formal, melainkan kehidupan sosial juga. Pada intinya, gagasan keilmuan baru dapat memberikan kontribusi, termasuk sejarah sosial dalam penulisan historiografi.

Sejarah sosial menempatkan masyarakat sebagai bahan utama kajian. Sejarah sosial bukan hanya membahas kaum elite, tetapi juga menyangkut struktur sosial. Kompleksitas kajian sejarah sosial masyarakat muslim, sejarahnya dimulai dari lokalitas, dan pinggiran (pheripery). Sejarah sosial juga memperhatikan bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, serta memecahkan permasalahan, sehingga titik tekannya adalah pola dari perilaku individu, bukan aktor sejarah.

Richard Bulliet mengatakan sejarah sosial tentang hadis sampai kepada masyarakat Iran yaitu pada abad ke2-3 H, karena Islam mengalami invasi keluar Arab. Bulliet mencoba menelisik masyarakat Jurjan daerah di Asia Tengah yang tidak diperhatikan dalam sejarah Islam. Ia melihat bagaimana hadis diperankan oleh ulama-ulama lokal yang memiliki otoritas. Inilah yang diteropong oleh Bulliet tentang masyarakat pinggiran. Pertanyaan pentingnya adalah, apa peran agama pada masyarakat Muslim tersebut? Kenapa mereka bisa bersatu dan menerima Islam?

Bulliet makukan riset dengan mulai melakukan investasi pada suatu komunitas kecil. Ia memperhatikan dinamika tranmisi hadis oleh keturunan Arab pada masyarakat Jurjan. Adanya peran dari Abu Bakar al-Ismaili yang memiliki keturunan dari Nabi Muhammad memiliki pengaruh politik serta keagamaan pada wilayah Jurjan. Otoritas keagamaan pada keluarga Abu Bakar disebabkan oleh 3 aspek, 1) keseriusan mendidik anak, 2) peran dalam pemerintahan, dan 3) faktor ekonomi yang kuat. Keluarga ini juga memakai Mazhab Syafi'i sementara mayoritas di Iran bermazhab Hanafi.

Daerah pinggiran menjadi ekspansi Islam, dimana terjadi dialog dialektika antar mazhab dalam ruang lingkup masyarakat lokal. Studi hadis menempatkan diri pula dalam melihat arti pentingnya sanad hadis yang terjaga, sebagai yang dilakukan oleh keluarga Abu Bakar al-Ismaili. Dari sini, sedikit-banyaknya sejarah sosial pinggiran berkontribusi bagi studi living hadis.

Untuk konteks Indonesia, kita bisa melihat sejarah Hindu-Buddha sebelum Islam datang dari Timur-Tengah. Tetapi, untuk konteks Indonesia, keilmuan hadis tidak terlalu mendapatkan tempat pada awalnya, tidak seperti fikih dan akhlak. Bagaimana itu bisa terjadi? Padahal hadis juga merupakan bagian dari keilmuan Islam.

Sekali lagi, sejarah sosial untuk living hadis tidak memulai untuk melihat elite di bagian atas, melainkan dari bawah, yaitu rakyat. Misalnya adanya suatu tradisi keagamaan dalam masyarakat. Kita tidak perlu melihat fatwa MUI atau peraturan pemerintah terlebih dahulu. Yang dilihat terlebih dahulu adalah peran ulama lokal dalam mentransmisikan dan mentransformasikan ke masyarakat. Intinya, sejarah sosial mendialogkan yang pusat dengan pinggiran, universal dengan lokalitas, sehingga menjadikan Islam sebagai bagian dari identitas integral kehidupan mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

  Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘ Revo 110cc ’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kala u motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman . “Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.   Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok. Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok. Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi ol

Merantau dalam Menuntut Ilmu - Minangkabau

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah,1 baik itu melalui jalur formal, non-formal atau informal. Di dunia sekarang, menuntut ilmu menjadi sebuah hal yang „harus‟ dilakukan, termasuk di Indonesia sejak adanya program “wajib belajar 9 tahun”. Oleh karena itu, pada saat ini menuntut ilmu menjadi hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang terutama yang berada pada usia-usia pendidikan. Agama Islam juga mewajibkan seorang muslim atau muslimah untuk menuntut ilmu. Dengan adanya kewajiban tersebut, tentu seorang muslim akan berpikir bagaimana „cara‟ menunutut ilmu atau dimana menunut ilmu. Salah satu bentuk tersebut adalah dengan pergi dari kampung asal menuju tempat yang berkembang ilmu pengetahuan di sana, yaitu sekolah. Tetapi, sekarang orang lebih memikirkan cara untuk bersekolah di sebuah tempat yang bermutu yang jauh dari kampungnya. Hal semacam inilah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sebagai bentuk menghidupkan sunnah dalam menuntut ilmu sebagai