Langsung ke konten utama

Yûsuf Efendizâde, Ulama Tafsir-Hadis Turki Abad 18 M

Abad ke-18 M sangat perlu diperhatikan terutama bagi peradaban Islam. Sebab, pada abad ini terdapat sebuah kerajaan Islam yang besar, yaitu Turki Utsmani. Pada abad ini juga politik dan intelektual berkembang secara bertahap. Dan disisi lain, ideologi kebarat-baratan muncul dan sangat dirasakan oleh masyarakat karena kontak dengan Barat yang sangat mudah dan murah. Para ulama yang terlibat dalam ilmu-ilmu Islam secara umum, hadis secara khusus seharusnya juga terpengaruh oleh perkembangan ini secara alami. Tetapi hadis yang dibukukan dalam periode ini menunjukkan bahwa efek yang disebutkan di atas tidak berpengaruh. Berbeda dengan ilmu umum lainnya, yang mengalami perkembangan sejalan dengan dunia Barat disebabkan kontak tersebut. Seperti ilmu kedokteran, teknolgi modern, matematika, sastra, pendidikan, filsafat, arsitektur, musik dan lain-lain.
Jika dilihat pada abad 14 M, para Ulama hadis di Turki Utsmani tidak begitu terkenal karena Turki Utsmani baru berdiri atau disebabkan mereka tidak fokus kepada satu cabang ilmu saja. Tetapi tidak bisa dikatakan juga Ulama tersebut “jahil”di dalam bidang hadis. Melihat catatan sejarah, hadis sudah dikaji secara serius oleh para Ulama pada masa Dinasti Abbasiyah. Walaupun sudah dikaji, hadis tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Banyak perkembangan dan permasalahan yang harus dikaji lagi dalam bidang hadis pada berbagai sisi. Mungkin ini salah satu sebab kenapa Ulama pada abad 14 M di Turki Utsmani tidak begitu terkenal.
Kemudian abad 15-17 M, Turki Utsmani mengalami perkembangan dan pembangunan yang luar biasa. Stabilitas negara mulai aman dan donasi untuk perkembangan mencukupi. Berkat kebijakan Sultan Turki Utsmani, ilmu dan Ulama mulai diperhatikan. Maka para Ulama pindah ke Istanbul untuk mengembangkan keilmuan disana. Tercatat ada sekitar 27 Ulama yang hijrah kesana. Secara otomatis karangan-karangan para Ulama melimpah dalam berbagai tema dan keahlian masing-masing, termasuk di bidang hadis.
Kembali ke abad 18 M, tercatat ada sekitar 45 cabang ilmu umum dan Islam yang berkembang. Sejarah keilmuan Islam di Turki Utsmani berlansung secara taqlid. Tidak tampak metode pemebelajaran keislaman yang khusus, begitu juga dalam bidang hadis. Sesuai dengan yang telah disebutkan di atas, bahwa abad ini mulai muncul kebiasaan pemikiran-pemikiran Barat. Secara khusus, dalam ilmu keislaman mengalami pertentangan  terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, begitu juga dalam bidang hadis.
Salah satu Ulama hadis yang hidup pada abad 18 M ini adalah Yusuf Afandi Zadah. Nama aslinya adalah Abdullah Hilmi bin Muhammad bin Yusuf al-Mannan al-Hanafi ar-Rumi al-Muaqarri’(1081-1167 H/1674-1754 M). Ayahnya adalah Muhammad bin Yusuf bin Abdul Manan. Beliau biasa disebut dengan nama Yusuf Afandi Zadah atau dalam bahasa Turki ditulis dengan “Yûsuf Efendizâde seseorang yang menjadi guru besar terkenal di bidang qira’ahasyarah di Konstantinopel. gurunya di bidang qira’ah  adalah ‘Ali bin Sulaiman al-Manshuri al-Mishri. Dan di antara muridnya yang terkenal adalah al-muqarri’ Abdurrahman bin Hasan al-Ajhauri. Salah satu kitabnya yang populer dan dijadikan rujukan di dalam bidang qira’ah yaitu kitab al-Itlaf fi Wujuh al-Ikhtilaf.
Kemudian gurunya di bidang hadis adalah Kara Halil (1123 H/1711 M), Ali bin Sulaiman al-Manshuri (1134 H/1722 M) dan Sulaiman Fazil Efendi (1134 H/ 1722 M). Beliau juga meriwayatkan hadis kepada muridnya yaitu, Ayakli kutphane. Dilihat dari beberapa kalimat di atas, beliau memberikan sanad di bidang hadis dan juga di bidang al-Qur’an yaitu qira’ah asyarah.
Karangan beliau yang lain di bidang Ulumul Qur’an adalah Zubdatul ‘Irfan Fi Wujul al-Qur’an. Dan di bidang hadis adalah Najah al-Qari fi Syarh al-Bukhari sebanyak 20 jilid. Ada juga penerbit yang mencetak dalam bentuk 30 jilid. Tentu karangan beliau di bidang hadis ini menjadi “wah” karena jumlah jilid tersebut. Dan kitab ‘Inayatul al-Malik al-Mun’im fi Syarh Shahih Muslim sebanyak 3 jilid.  Dan kitab Hasyiah ‘Ala Anwar at-Tanzil Li al-Baidhawi, Hasyiah ‘Ala al-‘Aqaid an-Nasfiyah dan Raudhah al-Wa’izhin.
Sulit juga menemukan referensi untuk menulis tentang biografi dari beliau. Disebabkan tidak banyak yang mengulas tentang dirinya. Hal itu biasanya karena yang dicari dari para Ulama adalah karangannya. Boleh jadi disebabkan oleh banyaknya ulama yang semasa dengannya sehingga para penulis tidak terfokus dengan satu saja. Atau Ulama tersebut tidak menekuni satu bidang ilmu saja sehingga tidak diketahui dimana keahliannya.
Kemudian pada abad ke-19 M, semangat kepenulisan di bidang ilmu keislman masih tertancap di jiwa para Ulama. Tetapi mengalami sedikit pergeseran di bidang hadis. Kitab hadis yang ditulis menurun jumlahnya menjadi 80 kitab saja. Kepenulisan lebih condong di dalam bidang umum, karena pengaruh Barat benar-benar tampak pada abad ini. Keadaan geografis-lah yang menjadi alasan yang tepat. Bahasa penulisan-pun mulai mengarah kepada 1 bahasa saja yaitu Turki.  Bahasa Arab dan Persia jarang lagi muncul dalam penulisan. Dan sistem pembelajaran di madrasah-madrasah mulai diperbaharui dengan gaya modern pada masa itu. Hingga awal abad ke-19 M, sangat jelas perubahan yang ada di Turki. Lebih-lebih ketika Turki Utsmani runtuh dan Barat sudah menjelajahi dunia Timur semuanya.
Sebenarnya, tidak ada permasalahan dalam jumlah karangan ulama hadis antara abad 18 M dengan abad sebelumnya atau seseudahnya. Karena Islam mengalami perkembangan di dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain.  Pada abad 18 M tersebut, karangan-karangan ulama hadis tetap dibukukan dan mengalami perkembangan sesuai dengan metode abad-abad sebelumnya tanpa ada pengaruh dari Barat. Karangan-karangan tersebut berbentuk syarah hadis, hasyiah, terjemahan ke dalam berbagai bahasa terutama bahasa Arab, Turki dan Persia, dan adapula yang dikarang secara tematik. Tercatat ada sekitar 107 karangan hadis yang dikarang oleh ulama hadis pada abad tersebut.
* Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Ayaz, Kadir. Zahid el-Kevseri'nin Icazetnamesinde Yer Alan Isnadlarin Osmanli Anadolu'sundaki Tarihcesi. Ankara: Universitisi Ilahiyat-Fakultesi Dergesi. 2015.
ad-Dausary, Ibrahim bin Sa’ad. al-Imam al-Mutwali Wa Juhuduhu Fi Ilmi al-Qiraat. Riyad: Maktabah ar-Rusyd. 1999.
Oghol, Akmaluddin Ahsan. Ad-Daulah al-Utsmaniyah-Tarikh Wa Hadharah. Istanbul: Maktabah as-Syuruq a-Dauliyah. 2011.
Tobay, Ahmet. Yûsuf Efendizâde Abdullah Hilmi ve Hadis Şerhciliğindeki Yeri. Marmara: Doktora Tezi-Marmara Ü. 1991.
Yildirim, Selahattin. Al-Muhaddisun al-Utsmaniyyun Fi al-Qarni al-Tsamin ‘Asyarah Wa Muallafatuhum. Samsun: Ondokus Mayis Universitisi. 2015.
__________________
Terima Kasih Kepada Dr. Kadir Ayaz at-Turki (kadirayaz15@gmail.com) yang telah memberikan referensi yang memadai.
Adapun tulisan ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan mata kuliah Sejarah Islam Semester I.
Sekian, Terima Kasih. (^-^) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

  Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘ Revo 110cc ’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kala u motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman . “Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.   Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok. Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok. Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi ol

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

  Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari