Langsung ke konten utama

Guru yang ‘Menghilang’ Itu Telah Kembali

 

Sore itu, di pondok, ketika sedang sibuk menerima santri baru yang akan masuk asrama, mataku terpaku pada sebuah motor bebek dengan merek ‘Revo 110cc’. Dapat diperkirakan, motor itu keluaran tahun 2009 atau 2010. Ya, sangat wajar kalau motor tersebut terlihat sedikit lusuh dimakan oleh zaman.

“Ah, mungkin motor ini milik wali santri yang mengantar anaknya ke pondok,” pikirku.  Akan tetapi, waktu magrib sudah semakin dekat dan jam penerimaan santri sudah habis. Artinya, tidak mungkin ada  wali santri masih berada di lingkungan pondok.

Setelah selesai beres-beres, seseorang mendekat ke motor tersebut. Ketika orang tersebut akan melakukan kick starter untuk menghidupkan motor, aku berusaha menghampiri dengan maksud ingin melepas sampai gerbang, pintu keluar pondok.

Baru berjalan lima langkah, aku baru menyadari perihal motor tersebut dan pemiliknya. Tidak salah lagi, motor itu adalah motor yang sama yang pernah kutumpangi 10 tahun yang lalu. Motor itu masih ditunggangi oleh orang yang sama.

Fotoku bersama Ust. Deni Ardian, Lc. (2022)

Di siko kini?” Aku bersalaman dan ingin mencium tangan orang tersebut. Namun, orang itu menjauhkan tangannya.

Iyo, ustaz”.

Kami lalu berbincang-bincang sekitar 15 menit mengenai perjalanan guruku tersebut, sebelum beliau pergi meninggalkan gerbang.

Beliau meninggalkan kami, murid-muridnya pada tahun 2013, ketika kami masih duduk di bangku kelas 1 Aliyah. Mata pelajaran yang beliau ajar, kemudian diambil alih oleh mudir untuk mengajarkan. Seingatku, beliau tidak pamit secara resmi. Kami hanya mendengar berita bahwa beliau berhenti mengajar untuk sementara waktu dengan alasan tertentu. Rencananya, beliau akan kembali lagi ketika kami berada di kelas 3 Aliyah.

Tahun 2016, ketika kami duduk di kelas 3 Aliyah, beliau tak kunjung datang untuk mengajar. Hingga selepas menyelesaikan pendidikan S-1 (2020) dan mengabdi di pondok (2021-2022), beliau juga tidak kuketahui dimana keberadaannya, yang seolah-olah ‘hilang’ ditelan oleh zaman. Di media sosial pun, tak dapat kulacak akun beliau.

Juli 2022, akhirnya aku bertemu kembali dengan beliau. Dan di bulan itu juga, aku pamit ke beliau untuk melanjutkan studi. Cerita itu terulang kembali. Pilihannya hanya ada dua, kalau tidak meninggalkan, ya ditinggalkan. Aku meninggalkan murid-muridku, dan beliau yang menerimanya. Tentu beda rasanya, ketika posisi (status) kita dipaksakan sama dalam sebuah institusi. Rasa takzim-ku kepada beliau tidak akan luntur.

Pesan beliau kepadaku: Jan lamo-lamo bana!

Selamat Hari Santri 2023!

***

Depok, 22 Oktober 2023.
5.15 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

  Judul Buku            : Yerusalem, Kota Suci, Kota Api Penulis                    :  Arif Maftuhin Penerbit                 :  Gading Publishing Cetakan                 : I, Des 202 2 Tebal                       : x ii + 209 halaman ISBN                      : 978-623-88200-2-3 Dok. pribadi   (Lokasi: Gn. Slamet ) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina. Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait

Air Mata Buya Hamka: Mengenang 111 Tahun Buya Hamka*

  Sumber foto: commons.wikimedia.org Tepat pada hari ini (17/02), 111 tahun yang lalu Buya Hamka dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Banyak hal yang telah dilaluinya, mulai belajar mengaji dengan ayahnya — Haji Abdul Karim Amrullah — hingga membuat kenakalan, seperti: menyabung ayam, berkelahi, dan mengambil ikan di kolam (Minang: tabek ) orang lain. Dengan melihat kenakalan tersebut, tentunya dapat memberikan anggapan kepada orang lain bahwasanya tidak mungkin seorang Hamka akan menjadi seorang ulama. Namun, Allah swt. dapat membolak-balikkan hati seseorang . Ketika beranjak dewasa, Hamka sadar dan ia mulai belajar agama dengan serius. Pada akhirnya, perjalanannya membuahkan hasil yang sangat besar hingga ia dapat mengikuti jejak ayahnya, mendapatkan gelar  'Dr. (H.C.)' dari Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir. Terlepas dari semua itu, tulisan ini lebih menyoroti tentang ‘kesedihan’ atau lebih tepatnya ‘kerisauan’ seorang Buya Hamka. Mulai dari